WANTUN OFFICIAL ADALAH IMPIAN MASA DEPAN YANG AKAN DATANG AKAN BERGERAK DI BIDANG KULINER UNTUK PERTAMA KALI NYA

Jumat, 14 Maret 2014

ASUHAN KEPERAWATAN PEMFIGUS VULGARIS

I.     KONSEP DASAR
A.    PENGERTIAN
1.      Pemfigus berasal dari kata Yunani pemphix yang berarti gelembung atau melepuh. Pemfigus menggambarkan sekelompok penyakir bulosa kronis yang awalnya diseskripsian oleh Wichman tahun 1791. Pemfigus Vulgaris merupakan penyakit serius pada kulit yang ditandai timbulnya bula (lepuh) dengan berbagai ukuran pada kulit yang tampak normal dan membran mukosa (misalnya : mulut, vagina). (Arif Mutakin, 2011, hal:104).
2.      Pemfigus adalah kumpulan penyakit kulit autoimun terbuka kronik, menyerang kulit dan membran mukosa yang secara histologik ditandai dengan bula intra spidermal akibat proses ukontolisis (pemisahan sel-sel intra sel) dan secara imunopatologi ditemukan antibody terhadap komponen dermosom pada permukaan keratinosis jenis Ig G, baik terikat mupun beredar dalam sirkulasi darah ( Djuanda 2001, hal :186)
3.      Pemfigus adalah penyakit kulit yang ditandai dengan timbulnya sebaran gelembung secara berturut-turut yang mengering dengan meninggalkan bercak-bercak berwarna gelap, dapat diiringi dengan rasa gatal atau tidak dan umumnya mempengaruhi keadaan umum si penderita. (Laksman, 1999, hal:261).
A.    ETIOLOGI
1.      Genetik
2.      Penyakit autoimun
3.      Obat-obatan (Penisilin dan kaptopril)
4.      Sebagai penyakit penyerta seperti neoplasma.
(Smeltzer dan Bare, 2002, hal:1879).
B.     PATOFISIOLOGI
Bukti yang ada menunjukan bahwa pemfigus merupakan penyakit autoiun yang melibatkan IgG, suatu immunoglobin. Diperkirakan bahwa antibodi pemfigus ditujukan langsung kepada antigen permukaan sel yang spesifik dalam sel-sel epidermis. Bula terbentuk akibat reaksi antigen-antibodi. Kadar antibodi dalam serum merupakan petunjuk untuk memprediksikan intenstas penyakit. Faktor-faktor genetik dapat memainkan peranan dalam perkembangan penyakit. Kelainan ini biasanya terjadi pada laki-lak dan wanita usia pertengahan, serta akhir usia dewasa.
Komplikasi yang paling sering pada pemfigus vulgaris terjadi ketika proses penyakit tersebut menyebar luas. Sebelum ditemukan kortikosteroid dan terapi immunosupresif, pasien sangat rentan terhadap infeksi bakteri sekunde. Bakteri kulit relatif mudah mencapai bula karena bula mengalami perembesan cairan, pecah, dan meninggalkan daerah-daerah terkelupas yang terbuka terhadap lingkungan.
Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit terjadi akibat kehilangan cairan, serta protein ketika bula mengalami ruptur. Hipoalbuminema lazim dijumpai kalau proses penyakitnya mencakup daerah permukaan kulit tubuh dan membran mukosa luas. Adanya kerusakan jaringan kulit pada pemfigus vulgaris memberikan manifestasi pada berbagai masalah keperawatan. (Arif Mutakin, 2011, hal:105).



PATWAY PEMFIGUS VULGARIS






MANIFESTASI KLINIK
1.      Pemfigus Vulgaris
a.       Kulit berlepuh, Ø 1-10 cm, bula kendur, mudah pecah, nyeri pada kulit yang terkelupas, erosi
b.      Krusta bertahan lama, hiperpigmentasi
c.       Tanda nikolsky ada
d.      Kelamin, mukosa mulut 60%
e.       Biasanya usia 30-60 tahun
f.       Bau specifik
2.      Pemfigus eritematosus
a.       Biasanya pada usia 60-70 tahun
b.      Lesi awal : daerah wajah, kulit kepala, punggung, seluruh tubuh berupa bercak, eritematosa batas tegas ( seperti kupu-kupu pada wajah) , krusta sifatnya kronis residif
c.       Dinding bula kendur, mudah pecah, erosif yang dikelilingi dasar eritematosa, krusta dan skuama krusta basah, bau khas
d.      Tanda nikolsky ada
e.       Mukosa mulut terkena
3.      Pemfigus bullosa
a.       Biasanya usia 50-70 tahun
b.      Dinding bula tegang berisi cairan jernih/ hemoragic diatas kulit yang tampak normal atau eritema
c.       Diameter bula bervariasi
d.      Lesi mulut / genitalis ( 20 – 40 %)
e.       Tidak ada tanda nikolsky
4.      Pemfigus vegetans
a.       pada usia lebih muda dibandingkan dengan pemfigus vulgaris
b.      lesi awal dimukosa mulut berbulan-bulan
c.       lesi kulit : lokasi inter triginose, wajah, kepala, hidung, extremitas, selluruh tubuh berupa bula kendur, mudah pecah, erosi vegetans, bau amis, hiperpigmentasi
d.      tanda nikolsky ada.
 (Mansjoer,1999)
C.    KOMPLIKASI
1.      Secondary infection
Salah satunya mungkin disebabkan oleh sistemik atau lokal pada kulit. Mungkin terjadi karena penggunaan immunosupresant dan adanya multiple erosion. Infeksi cutaneus memperlambat penyembuhan luka dan meningkatkan resiko timbulnya scar.
2.      Malignansi dari penggunaan imunosupresif
Biasanya ditemukan pada pasien yang mendapat terapi immunosupresif.
3.      Growth retardation
Ditemukan pada anak yang menggunakan immunosupresan dan kortikosteroid.
4.      Supresi sumsum tulang
Dilaporkan pada pasien yang menerima imunosupresant. Insiden leukemia dan lymphoma meningkat pada penggunaan imunosupresif jangka lama.
5.      Osteoporosis
Terjadi dengan penggunaan kortikosteroid sistemik
6.      Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
Erosi kulit yang luas, kehilangan cairan serta protein ketika bulla mengalami rupture akan menyebabkan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Kehilangan cairan dan natrium klorida ini merupakan penyebab terbanyak gejala sistemik yang berkaitan dengan penyakit dan harus diatasi dengan pemberian infuse larutan salin. Hipoalbuminemia lazim dijumpai kalau proses mencapai kulit tubuh dan membrane mukosa yang luas. (Price, 2002).
D.    PENATALAKSANAAN
1.      Pemfigus vulgaris
a.       Umum
1)      Perbaiki keadaan umum
2)      Atasi keseimbangan cairan ( input atau output ), elektrolit, tanda-tanda vital
b.      Sistemik
1)      Kortikosteroid : Prednison 60-150 mg/hr ( tergantung berat ringannya penyakit
2)      Tapering off disesuaikan dengan kondisi  klinis dan kadar IgG dalam darah sampai dosis pemeliharaan
3)      Dapat dikombinasikan kortikosteroid dan sitostatika (Azotlapin 1-3 mg/kg BB ) untuk sparing efek.
4)      Antibiotika bila ada infeksi sekunder
5)      KCL 3x500 mg/ hari
6)      Anabolik ( Anabolene 1x1 tablet/ hari )
c.       Topikal
1)      Eksudatif       : kompres
2)      Darah erosif   :  - Silver sulfadiazine
-    Krim antibiotik bila ada infeksi
3)      Kortikosteroid lemah untuk lesi yang tidah eksudatif
2.      Pemfigus eritematosus
a.       Umum
1)      Pengawasan keadaan umum, tanda vital, input atau output cairan dan elektrolit
2)      Diet lunak, TKTP, rendah garam
b.      Sistemik
1)      Kortikosteroid : prednison 60-100 mg/hr ( tergantung berat ringannya penyakit)
2)      Kombinasi kortikosteroid dan azatioprin (1-2 mg/kg BB)
3)      Antibiotik : bila terdapat infeksi sekunder
4)      Anabolene 1x1 tb/ hari
c.       Topikal
1)      Untuk lesi basah : kompres
2)      Untuk lesi erosif : mupirocin
3)      Untuk lesi berskuama : kompres hidrokortison 2,5 %, lanalcin 10 %, vaselin albumin 100
3.      Pemfigus bulosa
a.       Umum
1)      Pengawasan keadaan umum, tanda vital
2)      Diet TKTP
3)      Hindari infeksi sekunder (K/P) infus untuk mengantisipasi gangguan cairan dan elektrolit
b.      Sistemik
1)      Prednison 40-80 mg/hr, bila tampak perbaikan tapering off
2)      DDS (Diamino Diphenyl Suffone) 200-300 mg/hari
3)      Dapat diberikan gabungan prednison dengan imunosupresan lain
4)      Metrotaxate (MTX) 20-30 mg/ minggu interval 12 jam diberikan saat prednison dosis 400 mg
5)      Azatioprin 50-150 mg/hr setelah 3-4 minggu kemudian dilakukan alternate day
6)      Anabolik bila ada infeksi sekunder
7)      CTM 3x1 tablet sehari ( bila gatal)
a.       Topikal
1)      Untuk lesi basah : kompres rivanol
2)      Untuk lesi erosi kering : kortikosteroid topikal
3)      Antibiotik topikal
4)      Bula besar : aspirasi
4.      Pemfigus vegetans
a.       Umum
1)      Pengawasan keadaan umum, tanda vital, input output cairan dan elektrolit
2)      Diet lunak, TKTP, rendah garam
b.      Sistemik
1)      Prednison 60-150 mg/hr, tapering off sesuai dengan kondisi klinis sampai dosis pemeliharaan
2)      Antibiotik bila ada infeksi sekunder
3)      Alternate dapseon 100-200 mg/hari
4)      KCL 2x500 mg (k/p)
5)      Anabolik (anabolene 1x1 tablet sehari)
c.       Topikal
1)      Betadine gargle untuk kumur
2)      Bibir kenalog in arabase
3)      Garamicin krim atau fucidine krim 2xsehari untuk daerah erosif
4)      Untuk krusta : kompres salep antibiotik
5)      Larutan PK sebanyak 1% yang dilarutkan dalam air mandi
 (Smelltzer, 2002, hal: 188).
E.     PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemfigus vulgaris biasanya terjadi pada usia lanjut dan disertai dengan keadaan umum yang lemah. Selain itu diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan:
1.      Gambaran klinis yang khas dan tanda dari nikolsky positip
2.      Tes tzanck positip. Pemeriksaan cairan dari bulla (melepuh) untuk mencari sel tzanck dengan membuat apusan dari dasar bula dan dicat dengan giemsa, akan terlihat sel tzanck atau sel akantolitik yang berasal dari spinosum berbentuk agak bulat dan berinti besar dengan dikelilingi sitoplasma jernih (halo).
3.      Pemeriksaan histopatogenik: terlihat gambar yang khas, yaitu bula yang terletak suprabasal dan adanya akontolisis.
4.      Pemeriksaan imunofluorensi.
a.       Immunofluorescen langsung
Menunjukan endapan antibodi IgG, C3, di substansi interselluler epidermis
b.      Immunofluorescen tidak langsung Serum : dideteksi sirkulasi antibodi IgG interseluler, terdapat pada 80-90% penderita.
(Harahap, 2000, hal : 136)
II.     KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
B.PENGKAJIAN FOKUS
1.      Biodata
Umur : biasanya pada usia pertengahan sampai dewasa muda
2.      Riwayat kesehatan
Keluhan utama : nyeri karena adanya pembentukan bula dan erosi
3.      Riwayat penyakit dahulu : Riwayat alergi obat, riwayat penyakit keganasan (neoplasma ), riwayat penyakit lain, Riwayat hipertensi
4.      Pola kesehatan fungsional Gordon yang terkait
a.       Pola Nutrisi dan Metabolik
Kehilangan cairan dan elektrolit akibat kehilangan cairan dan protein ketika bula mengalami ruptur
b.      Pola persepsi sensori dan kognitif
Nyeri akibat pembentukan bula dan erosi
c.       Pola hubungan dengan orang lain
Terjadinya perubahan dalam berhubungan dengan orang lain karena adanya bula atau bekas pecahan bula yang meninggalkan erosi yang lebar
d.      Pola persepsi dan konsep diri
Terjadinya gangguan body image karena adanya bula/ bula pecah meninggalkan erosi yang lebar serta bau yang menusuk
5.      Pemeriksaan Fisik
a.       Keadaan Umum : Baik
b.      Tingkat kesadaran : Composmentis
c.       Tanda – tanda vital :
1)      TD                  : Dapat meningkat/ menurun
2)      N                    : Dapat meningkat/ menurun
3)      RR                  : Dapat meningkat/ menurun
4)      S                     : Dapat meningkat/ menurun
d.      Kepala                 : Kadang ditemukan bula
e.       Dada                   : Kadang ditemukan bula
f.       Punggung            : Kadang ditemukan bula dan luka dekubitus
g.      Ekstremitas         : Kadang ditemukan bula dan luka dekubitus
6.      Pemeriksaan penunjang
a.       Klinis anamnesis dan pemeriksaan kulit : ditemukan bula
b.      Laborat darah        : hipoalbumin
c.       Biopsi kulit            : mengetahui kemungkinan maligna
d.      Test imunofluorssen :  didapat penurunan imunoglobulin
(Harnowo, 2002, hal: 29)
C.    DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.      Resiko tinggi ketidakseimbangan cairan dan elektolit b.d hilangnya cairan pada jaringan, penurunan intake cairan, pengeluaran cairan berlebih dengan peningkatan terbentuknya bula dan ruptur bula.
2.      Resiko tinggi infeksi b.d penurunan imunitas, adanya port de entree pada lesi.
3.      Nyeri b.d kerusakan jaringan lunak erosi jaringan lunak.
4.      Kerusakan integritas kulit b.d lesi dan raksi inflamasi lokal.
5.      Defisit perawatan diri b.d kelemahan fisik, penurunan kemampuan aktivitas umum sekunder dari adanya nyeri, kerusakan luas kulit.
6.      Kecemasan b.d kondisi penyakit, kerusakan luas pada jaringan kulit.
D.    INTERVENSI
Resiko tinggi ketidakseimbangan cairan dan elektolit b.d hilangnya cairan pada jaringan, penurunan intake cairan, pengeluaran cairan berlebih dengan peningkatan terbentuknya bula dan ruptur bula.
Tujuan : dalam waktu 1 x 24 jam tidak terjadi syok hipovolemik.
Kriteria evaluasi :
-          Tidak terdapat tanda-tanda syok : pasien tidak mengeluh pusing, TTV dalam batas normal, kesadaran optimal, urine >600 ml/hari.
-          Membran mukosa lembab, turgor kulit normal, CRT >3detik.
-          Laboratorium : nilai elektrolit normal, nilai hematokrit dan protein serum meningkat, BUN/ kreatinin meurun.
Intervensi
Rasional
Intervensi pemenuhan cairan :
·         Identifikasi faktor penyebab, awitan (onset), spesifikasi usia dan adanya riwayat penyakit lain.
·         Kolaborasi skor dehidrasi
0-2 : dehidrasi ringan, 3-6 : dehidrasi sedang,  >7 : dehidrasi berat
(skor Maurice King)
·         Lakukan dehidrasi oral
1.      Beri cairan secara oral
2.      Jelaskan tentang dehidrasi oral
3.      Berikan cairan oral sedikit demi sedikit
·         Lakukan pemasangan intravenus fluid drops (IVFD)
·         Dokumentasi dengan akurat tentang input output cairan
·         Bantu pasien apabila muntah
Parameter dalam menentukan intervensi kedaruratan. Adanya usia anak atau lanjut usia memberikan tingkat keparahan dari kondisi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.
Menentukan jumlah cairan yang akan diberikan sesuai derajat dehidrasi dari individu (2,5-5% : derajat ringan; 5-10% : derajat sedang; >10% : derajat berat).
Pemberian cairan oral dapat diberikan apabila tingkat toleransi pasien masih baik.
WHO memberikan rekomendasi tentang cairan oral yang berisikan 90 mEq/L Na+, 20 mEq/L K+, 80 mEq/L Cl, 20 g/L glukosa; osmolaritas 310; CHO:Na = 1,2:1; diberikan 250 mL setiap 15 menit sampai keseimbangan cairan terpenuhi dengan tanda klinik yang optimal atau pemberian 1 1/2 liter air pada setiap 1 liter feses (Diskin,2009).
Penting perawat disampaikan pada pasien dan keluarga bahwa dehidraasi oral tidak menurunkan durasi dan volume diare.
Pembrian cairan oral sedikit demi sedikit untuk mencegah terjadinya muntah apabila diberikan secara stimultan.
Apabila kondisi diare dan muntah berlanjut, maka lakukan pemasangan IVFD. Pemberian cairan intravena disesuaikan dengan derajat dehidrasi.
Pemberian 1-2 L cairan RL secara tetesan cepat sebagai kompensasi awal hidrasi cairan diberikan untuk mencegah syok hipovolemik (lihat intervensi kedaruratan syok hipovolemik).
Sebagai evaluasi penting dari intervensi hidrasi dan mencegah terjadinya over hidrasi.
Aspirasi muntah dapat terjadi terutama pada usia lanjut dengan perubahan kesadaran. Perawat mendekatkan tempat muntah dan memberikan masase ringan pada pundak untuk membantu menurunkan respons nyeri dari muntah
Intervensi pada penurunan kadar elektrolit :
·         Evaluasi kadar elektrolit serum.
·         Dokumentasi perubahan klinik dan laporkan dengan tim medis
·         Anjurkan pasien untuk minum dan makan makanan yang banyak mengandung natrium seperti susu, telur, daging , dsb.
·         Monitor khusus ketidakseimbangan elektrolit pada lansia
Untuk mendeteksi adanya kondisi hiponatremi dan hipokalemi sekunder dari hilangnya elektrolit dari plasma.
Perubahan klinik seperti penurunan output urine secara akut perlu diberitahu tim medis untuk mendapatkan intervensi selanjutnya dan menurunkan risiko terjadinya asidosis metabolik.
Pemberian cairan dan makanan tinggi natrium dilakukan sesuai dengan tingkat toleransi. Meskipun kekurangan natrium menyebabkan gejala serius yang perlu pemberian intravenus segera, pasien dianjurkan juga untuk mencoba intake natrium peroral dan hindari pembatasan garam.
Individu lansia dapat dengan cepat mengalami dehidrasi dan menderita kadar kalium rendah (hipokalemia) sebagai akibat dari ruptur bulla. Individu lansia yang menggunakan digitalis harus waspada terhadap cepatnya dehidrasi dan hipokalemia pada penurunan cairan pada pemfigus. Individu ini juga dintruksikan untuk mengenali tanda-tanda hipokalemia karena kadar kalium rendah dapat memperberat kerja digitalis yang dapat menimbulkan toksisitas digitalis.
Resiko tinggi infeksi b.d penurunan imunitas, adanya port de entree pada lesi.
Tujuan : Dalam waktu 7 x 24 jam tidak terjadi infeksi, terjadi perbaikan pada integritas jaringan lunak.
Kriteria evaluasi :
-          Lesi akan menutup pada hari ke 7 tanpa adanya tanda-tanda infeksi dan peradangan pada area lesi.
-          Leukosit dalam btas normal, TTV dalam batas normal.
Intervensi
Rasional
Kaji kondisi lesi, banyak dan besarnya bula, serta apakah adanya order khusus dari tim dokter dalam melakukan perawatan luka.
Mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari tujuan yang diharapkan.
Buat kondisi balutan dalam keadaan bersih dan kering.
Kondisi bersih dan kering akan menghindari kontaminasi komensal, serta akan menyebabkan respons inflamasi lokal dan akan memperlambat penyembuhan luka.
Lakukan perawatan luka :
·         Lakukan perawatan luka steril setiap hari.
·         Bersihkan luka dan drainase dengan cairan Nacl 0,9% atau antiseptik jenis iodine providum dengan cara swabbing dari arah dalam ke luar.
·         Bersihkan bekas sisa iodine providum dengan normal saline dengan cara swabbing dari arah dalam keluar.
·         Tutup luka dengan kassa steril dan jangan menggunakan dengan plester adhesif
Perawatan luka sebaiknya dilakukan setiap hari untuk membersihkan debris dan menurunkan kontak kuman masuk kedalam lesi. Intervensi dilakukan dalam kondisi steril sehingga mencegah kontaminasi kuman ke lesi pemfigus.
Pembersihan debris (sisa fagosit, jaringan ati) dan kuman sekitar luka dengan mengoptimalkan kelebihan dari iodine providum sebagai antisepti dengan arah dari dalam keluar dapat mencegah kontaminasi kuman ke jaringan luka.
Antiseptik iodine providum mempunyai kelemahan dalam menurunkan pro epitelisasi jaringan sehingga memperlambat pertumbuhan luka, maka harus dibersihkan dengan alkohol atau normal saline.
Penutupan secara menyeluruh dapat menghindari kontaminasi dari benda atau udara yang bersentuhan dengan lesi pemfigus.
Kolaborasi penggunaan anibiotik
Anibiotik injeksi diberikan untuk mencegah aktivasi kuman  yang bisa masuk. Peran perawat mengkaji adanya reaksi dan riwayat alergi antibiotik, serta memberikan antibiotik sesuai pesanan dokter.
Nyeri b.d kerusakan jaringan lunak erosi jaringan lunak.
Tujuan : Dalam waktu 1 x 24 jam nyeri berkurang/ hilang atau teradaptasi
Kriteria evaluasi :
-          Secara subjektif melaporkn nyeri berkurang atau dapat diadaptasi. Skala nyeri 0-1 (0-4)
-          Dapat mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri.
-          Pasien tidak gelisah.
Intervensi
Rasional
Kaji pendekatan PQRST
Menjadi parameter dasar untuk mengetahui sejauh mana intervensi yang diperlukan dan sebagai evaluasi keberhasilan dari intervensi manajemen nyeri keperawatan
Jelaskan dan bantu pasien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan noninvasif.
Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya telah menunjukan keefektifan dalam mengurangi nyeri.
Lakukan manajemen nyeri keperawatan :
·         Atur posisi fisiologis.
·         Lakukan perawatan higiene oral.
·         Istirahatkan klien
·         Bila perlu premedikasi sebelum melakukan perawatan luka.
·         Manajemen lingkungan : lingkungan tenang dan batasi pengunjung.
·         Ajarkan teknik relaksasi pernafasan dalam.
·         Ajarkan teknik distraksi pada saat nyeri.
·         Lakukan manajemen sentuhan
Akan meningkatan asupan O2 ke jaringan yang mengalami peradangan subkutan. Pengaturan posisi idealnya adalah pada arah yang berlawanan dengan letak lesi pemfigus.
Bagian tubuh yang mengalami inflamasi lkal dilakukan imobilisasi untuk menurunkan respons peradangan dan meningkatkan kesembuhan.
Keseluruhan rongga mulut pasien dapat terkena erosi dan permukaan terbuka. Jaringan nekrotik dapat terbentuk didaerah ini sehingga menambah penderitaan pasien dan mengganggu asupan makanan. Penurunan berat badan dan hipoproteinemia dapat terjadi. Perawatan higiene oral yang teliti sangat penting untuk menjaga agar mukosa pral tetap bersih dan memungkinkan terjadina regenerasi epitel. Kumur mulut yang sering harus dilakukan untuk membersihkan mulut dari debris dan menguragi nyeri didaerah ulerasi. Obat kumur mulut yang dijual bebas harus dihindari. Bibir dijaga agar tetap basah dengan cara mengoleskan lanolin, vaselin, atau pelembab bibir.
Istirahat diperlukan selama fase akut. Kondisi ini akan meningkatkan suplai darah pada jaringan yang mengalami peradangan.
Kompres yang basah dan sejuk atau terapi rendaman merupakan tindakan protektif yang dapat mengurangi rasa nyeri. Pasien dengan lesi yang luas dan nyeri harus mendapatkan premedikasi terlebih dahulu dengan preparat analgesik sebelum perawatan kulitnya mulai dilakukan.
Lingkungan tenang akan menurunkan stimulus nyeri eksternal dan pembatasan pengunjung akan membantu meningkatkan kondisi O2 ruangan yang akan berkurang apabila banyak pengunjung yang berada diruangan.
Meningkatkan asupan O2 sehingga menurunkan nyeri sekunder dari peradangan.
Distraksi dapat menurunkan stmulus internal dengan mekanisme peningkatan produksi endorfin dan enkefalin yang memblok reseptor nyeri untuk tidak dikirmkan ke korteks serebri sehingga menurunkan presepsi nyeri.
Manajemen sentuhan pada saat nyeri berupa sentuhan dukungan psikologis dapat membantu menurunkan nyeri.
Masase ringan dapat meningkatkan aliran darah dan dengan otomatis membantu suplai darah dan oksigen ke area nyeri, serta menurunkan sensasi nyeri.
Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgetik.
Analgetik memblok lintasan nyeri sehingga nyeri akan berkurang.
Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgetik.
Terapi antibiotik sistemik yang dipilih berdasarkan pemeriksaan sensitivitas umumnya diperlukan. Preparat oral penisilin dan eritromisin juga efektif untuk mengatasi selulitis
Kerusakan integritas jaringan kulit b.d nekrosis local sekunder dari akumulasi pus pada jaringan folikel rambut
Tujuan: Dalam 5 x 24 jam integritas kulit membaik secara optimal.
Kriteria evaluasi:
Pertumbuhan jaringan meningkat, keadaan luka membaik, pengeluaran pus pada luka tidak ada lagi, luka menutup.
Intervensi
Rasional
Kaji kerusakan jaringan lunak yang terjadi pada klien.
Menjadi data dasar untuk memberikan informasi intervensi perawatan luka, alat apa yang akan dipakai, dan jenis larutan apa yang akan digunakan.
Lakukan perawatan bula.
Pasien dengan daerah bula yang luas memiliki bau yang khas yang akan berkurang setelah infeksi sekunder terkendali. Sesudah kulit pasien dimandikan, kulit tersebut dikeringkan dengan hati-hati dan ditaburi bedak yang tidak iritatif agar pasien dapat bergerak lebih bebas ditempat tidurnya. Jumlah bedak yang cukup banyak mungkin diperlukan untuk menjaga agar kulit pasien tidak lengket pada seprei. Plester sama sekali tidak boleh digunakan pada kulit karena dapat menimbulkan lebih banyak bullae . hipotermi sering terjadi dan tindakan untuk menjaga agar pasien tetap hangat serta nyaman merupakan prioritas dalam aktivitas keperawatan.
Lakukan perawatan luka:
·         Lakukan perawatan luka dengan teknik steril.
·         Kaji keadaan luka dengan teknik membuka balutan dengan mengurangi stimulus nyeri. Bila melekat kuat, kasa diguyur dengan NaCl.
·         Lakukan pembilasan luka dari arah dalam keluar dengan cairan NaCl.
·         Tutup luka dengan kasa antimikroba steril dan dikompres dengan NaCl.
·         Lakukan nekrotomi.
Perawatan luka dengan teknik steril dapat mengurangi kontaminasi kuman langsung ke area luka.
Manajemen membuka luka dengan mengguyur larutan NaCl ke kasa dapat mengurangi stimulus nyeri.
Teknik membuang jaringan dan kuman di area luka dan diharapkan keluar dari area luka.
NaCl merupakan larutan fisiologis yang lebih mudah diabsorpsi oleh jaringan dibandingkan dengan larutan antiseptic, serta dengan dicampur antibiotic dapat mempercepat penyembuhan luka.
Jaringan nekrotik pada luka furunkel akan memperlambat proses epitelisasi jaringan luka sehingga memperlambat perbaikan jaringan.
Tingkatkan asupan nutrisi.
Diet TKTP diperlukan untuk meningkatkan asupan dari kebutuhan jaringan.
Evaluasi kerusakan jaringan dan perkembangan pertumbuhan jaringan.
Apabila masih belum mencapai dari kriteria evaluasi 15x24jam, maka perlu dikaji ulang factor-faktor yang dapat menghambat pertumbuhan luka
Defisit perawatan diri b.d kelemahan fisik, penurunan kemampuan aktivitas umum efek sekunder dari adanya nyeri, kerusakan luas kulit
Tujuan: Dalam waktu 3 x 24 jam kemampuan perawatan diri klien meningkat.
Kriteria evaluasi:
-          Pelaksanaan intervensi perawatan diri dilakukan setelah fase akut.
-          Tidak terjadi komplikasi sekunder, seperti kejang dan peningkatan agitasi.
Intervensi
Rasional
Kaji perubahan pada sistem saraf pusat.
Identifikasi terhadap kondisi penurunan tingkat kesadaran.
Tinggikan sedikit kepala pasien dengan hati-hati. Cegah gerakan yang tiba-tiba dan tidak perlu dari kepala dan leher, hindari fleksi leher.
Untuk mengurangi tekanan intrakranial.
Bantu seluruh aktivitas dan gerakan-gerakan pasien. Beri petunjuk untuk BAB (jangan enema). Anjurkan pasien untuk menghembuskan napas dalam bila miring dan bergerak di tempat tidur. Cegah posisi fleksi pada dan lutut.
Untuk mencegah keregangan otot yang dapat menimbulkan resiko peningkatan stimulus nikotinik-muskarinik pada system saraf pusat.
Waktu prosedur-prosedur perawatan disesuaikan dan diatur tepat waktu dengan periode relaksasi; hindari rangsangan lingkungan yang tidak perlu.
Untuk mencegah eksitasi yang merangsang otak yang sudah iritasi dan dapat menimbulkan kejang.
Beri penjelasan kepada keadaan lingkungan pada pasien.
Untuk mengurangi disorientasi dan untuk klasifikasi persepsi sensoris yang terganggu.
Kecemasan b.d  kondisi penyakit, kerusakan luas pada jaringan kulit.
Tujuan: Dalam waktu 1 x 24 jam kecemasan pasien berkurang.
Kriteria evaluasi:
-          Pasien menyatakan kecemasan berkurang
-          Pasien mengenal perasaannya dan dapat mengidentifikasi penyebab atau faktor yang memengaruhinya
-          Pasien kooperatif terhadap tindakan, wajah rileks. 
Intervensi
Rasional
Kaji tanda verbal dan nonverbal kecemasan, dampingi pasien dan lakukan tindakan bila menunjukkan perilaku merusak.
Reaksi verbal/nonverbal dapat menunjukkan rasa agitasi, marah, dan gelisah.
Hindari konfrontasi.
Konfrontasi dapat meningkatkan rasa marah, menurunkan kerjasama, dan mungkin memeperlambat penyembuhan.
Mulai melakukan tindakan untuk mengurangi kecemasan. Beri lingkungan yang tenang dan suasana penuh istirahat.
Mengurangi rangsangan eksternal yang tidak perlu.
Bina hubungan saling percaya.
Hal yang kritis dalam penatalaksanaan  keperawatan pasien pemfigus adalah terciptanya hubungan saling percaya antara pasien dan perawat. Hal ini mencakup cara perawat mendengarkan, berinteraksi, dan memperlihatkan sikap yang hangat, serta penuh perhatian. Pasien memiliki keprihatinan yang dapat dibenarkan dan keprihatinan ini dapat dikurangi apabila tim kesehatan menunjukkan reaksi yang tepat. Pasien harus didorong untuk mengekspresikan perasaan cemas, gangguan kenyamanan, dan perasaan keputusasaannya secara bebas. Semua ini diperlukan agar upaya untuk menenteramkan perasaan perasaan pasien terlaksana paling efektif.
Perhatian kepada kebutuhan psikologis pasien menuntut kehadiran perawat saat diperlukan, pemberian pelayanan keperawatan yang profesional dan pelaksanaan penyuluhan bagi psien beserta keluarganya.
Orientasikan pasien terhadap prosedur rutin dan aktivitas yang diharapkan.
Orientasi dapat menurunkan kecemasan.
Beri kesempatan kepada pasien untuk mengungkapkan ansietasnya.
Dapat menghilangkan ketegangan terhadap kekhawatiran yang tidak diekspresi.
Berikan privasi untuk pasien dan orang terdekat.
Memberi waktu untuk mengekpresikan perasaan, menghilangkan cemas dan perilaku adaptasi.
Adanya keluarga dan teman-teman yang dipilih pasien melayani aktivitas dan pengalihan (misalnya membaca) akan menurunkan perasaan terisolasi.
Pengaturan agar anggota keuarga dan setiap teman dekatnya untuk lebih banyak mencurahkan waktu mereka bersama pasien karena dapat menjadi upaya yang bersifat suportif.
Kolaborasi:
-          Berikan anticemas sesuai indikasi contohnya diazepam.
Meningkatkan relaksasi dan menurunkan kecemasan.
(Arif Mutakin, 2011, hal.107).
E.     EVALUASI
1.      Tidak terjadi syok hipovolemik.
2.      Tidak terjadi infeksi.
3.      Terjadi penurunan respons nyeri.
4.      Peningkatan integritas jaringan kulit.
5.      Perawatan aktivitas dapat terlaksana.
6.      Tingkat kecemasan berkurang.
(Arif Mutakin, 2011, hal.111).
DAFTAR PUSTAKA
Mutakin, Arif. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Integumen. Jakarta : Salemba Medika
Mansjoer, Arif, Dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Medikal Aesculapis
Sylvia, A. Price. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. EGC : Jakarta.
Harahap, Marwali. 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokretes.
Share:

0 comments: